Jumat, 15 April 2011

#Cerpen "Wanita Berambut Merah"

Pagi ini, seperti biasanya, aku bangun terlambat. Kebiasaan buruk yang dari dulu tak pernah bisa kuubah, meski aku telah berusaha.

Kulirik jam tanganku, jam 6.20. Matahari mulai tinggi sementara aku belum juga mendapatkan angkot yang harusnya mengantarku ke Sekolah. Bukannya aku pilih-pilih. Tidak. Bukan sama sekali. Tapi semua angkot yang ku stop tak mau berhenti. Penuh oleh pelajar yang bedesak-desakan. Perasaan khawatir mulai melandaku.

Aku besekolah di SMAN2 Bandar Lampung. Rumahku di Sukarame. Jarak dari sini ke Sekolah normalnya sekitar setengah jam. Itu pun kalau tidak macet. Kalau macet parah, lain lagi ceritanya. Sementara gerbang ditutup pukul 7.15. Ah, semoga masih sempat…

Kadang aku sendiri bingung dengan kotaku ini. Bandar Lampung bukanlah kota yang benar-benar besar. Maksudku, tidak jika dibandingkan Jakarta, Surabaya ataupun Bandung tentunya. Tapi mengapa oh mengapa, kemacetan di pagi hari sering sekali kuhadapi.Mungkin karena saat jam jam sibuk semua kendaraan keluar secara bersamaan, hingga terjadi penumpukan di jalan.Ah, entahlah. Kadang, kesal sekali rasanya saat menghadapi kemacetan dan melihat ke dalam mobil pribadi di sekitarku hanya ditumpangi oleh dua bahkan seorang saja. Lebih baik tak usah dibawa saja. Ganti pakai motor. Bebas macet, irit bahan bakar, jauh dari pemanasan global!

Beruntung, tak lama muncul angkot abu-abu yang bertuliskan Tanjung Karang-Sukarame. Ah, ini dia! Segera ku-stop dan angkot itu pun berhenti tepat di hadapanku. Alhamdulillah, Berbeda dengan sebelumnya, ternyata angkot ini cenderung sepi. Kupilih tempat di pojok agar bisa bersandar. Angkot itupun melaju dengan perlahan.

Resiko angkot sepi adalah lebih sering berhenti. Itu tandanya, lebih lama sampai tujuan.Benar saja, beberapa kali angkot itu berhenti untuk mengangkut penumpang hingga keadaan mulai ramai. Lalu angkot yang kunaiki terjebak di Lampu Merah Kali Balok. Aaarrrghh!!! Aku mendesah pelan. Tenang, mudah-mudahan masih sempat…

Kulihat seorang wanita muda naik. Wajahnya sedikit kotor.Kulitnya hitam. Pakaiannya seadanya, rambutnya hitam kemerahan terbakar matahari. Hidup memang keras,pikirku.

“Ehh? Ngapain kamu naik? Turun! TURUN! AYO TURUN!” sebuah bentakan mengagetkanku, membuatku menoleh ke sumber suara. Sang Sopir dengan wajah sinis mencoba untuk mengusir wanita itu.tapi wanita itu tak bergeming. Seakan tak mendengar, ia tetap duduk meski dengan sedikit tak nyaman. Ada apa ini? Apa yang salah? Kulihat gadis itu tampak sedikit tak nyaman namun seakan tak peduli. Beberapa pasang mata tertuju pada mereka, menyelidik, mencoba mencari tahu apa yang membuat perjalanan mereka terhenti. Menyerah, sang sopir memilih untuk kembali fokus pada tugasnya, meski sambil mengomel. Angkot pun kembali melaju dengan perlahan.

Alisku mengernyit. Tak mengerti dengan apa yang barusan kusaksikan. Kenapa? Apa gadis ini orang gila? Sepertinya bukan? Mataku tak bisa berhenti untuk mengamati dirinya. Kutatap raut wajahnya, Nampak kecemasan terpancar dari matanya. Entah mengapa, aku merasa wanita ini gelisah sekali. Kenapa? Apa karena masalah tadi? Kasihan sekali wanita ini…

Lalu, ia menatap lurus kearahku. Deg! Merasa tak enak karena ketahuan, aku alihkan pandanganku keluar jendela. Sudah sampai di daerah Villa Citra. Angkot kembali menepi, seorang ibu-ibu paruh baya naik, dan memilih duduk disamping wanita tadi kulirik jam tanganku. Jam 6.40. Ahhh, gawat! Kalau begini terus, bisa terlambat!

Angkot yang aku tumpangi kini sedang berjuang menghadapi kemacetan yang membentang mulai dari Sinar sampai dengan Rel Kereta di daerah BPK penabur. Penat sekali rasanya.

Tuuuuuttt… Tuuuuuttt….

Ah? Kereta! Sempurna!fiuihh…

“Bu, boleh saya minta tolong?” akhirnya aku mendengar suara pertama yang keluar dari mulut wanita itu. Membuatku menoleh kepadanya. Yang diajak bicara justru menoleh dengan ogah-ogahan.

“Uang saya jatuh, bisa minta dua ribu untuk ongkos?” ucapnya takut-takut sambil memelas. Seorang ibu yang diajaknya bicara tak menanggapi, seolah olah tak mendengar apapun. Apasih?

“Bisa Bu?” ucapnya setengah mendesak dan putus asa. Aku menahan nafas menunggu reaksi ibu tersebut. Pasti tak mudah mengatakannya, butuh keberanian ekstra untuk melawan rasa malu dan takut.

“Nggak ada” jawab ibu itu ketus. Entah kenapa saat itu, hatiku panas mendengarnya. Wanita itu hanya menunduk, lalu terdiam.

Ah, itu rupanya! Itu alasan kenapa wanita ini dari tadi terlihat gelisah! Jahat sekali ibu ini! Apalah arti dua ribu baginya?! Tak tahukah ia, pasti butuh keberanian luar biasa untuk mengatakannya! apakah mata hatinya benar-benar tertutup untuk mau menolong sesama? Apakah ia akan jatuh miskin jika ia amalkan uangnya dua ribu rupiah? Padahal itu HANYA DUA RIBU RUPIAH! Apakah segitu susahnya?

Aku benar benar emosi, sudah tak kupedulikan lagi apakah aku akan terlambat atau tidak. Ah, bagaimana kalau aku ada di posisi wanita itu? Diam-diam kubuka tasku. Terlihat dua lembar uang disana. Satu lembar pecahan sepuluh ribu rupiah, yang satunya lagi pecahan lima ribu rupiah. Terlintas di kepalaku untuk memberikannya selembar lima ribuan itu. Tapi, kalau sekarang aku berikan, bagaimana perasaan ibu itu nanti? Apakan ia akan tersinggung? Sudahlah, nanti saja kuberikan saat ibu itu sudah turun. Tak enak rasanya…

Kuperhatikan wanita itu kembali sibuk dengan dirinya. Mencoba untuk meminta bantuan seorang mahasiswi di sebelahnya. Berkata dengan suara lirih dan kekhawatiran yang sama.Tapi mahasiswa itu hanya menggeleng. Aah, kejamnya dunia ini? Dimanakah perasaan kalian? Dimana?! Andai wanita itu langsung meminta kepadaku… kenapa aku hanya bisa diam? Diam dengan seragam SMAku? Apa yang harus kulakukan?!
Lalu, seorang Ibu-ibu yang mengenakan pakaian guru menegur wanita itu. Rupanya, dari tadi ia juga memperhatikan kelakuan wanita itu.

“Kamu kenapa?” tanyanya lembut

“Uang saya jatuh Bu..” jawab wanita itu memelas. Sekilas, aku bisa melihat tatapan tak suka dari pak sopir mendengar kata-katanya. Ia lalu mencibir. Kenapa? Kalau ia tak mau membantu, kenapa tak suka kalau orang lain yang membantu? Apa mungkin alasan sopir tadi mengusir wanita ini adalah karena takut tak dibayar? Picik sekali?! Hidup hanya mengukur pada meteri!

“Kamu mau kemana?” Tanya Ibu Guru itu kemudian

“Metro Bu, saya nyasar, jadi naik angkot sepotong-sepotong”

“Kalau begitu pegang saja ini. Simpan. Gunakan baik-baik” ucapnya sambil menarik tangan wanita tadi dan meninggalkan selembar uang dua puluh ribu ditangan. Mata wanita itu tampak berbinar. Tanpa sadar akupun tersenyum. Terima kasih ya Allah, ternyata kau turunkan juga malaikatmu untuk membantu dirinya, maafkan aku, yang juga tak bisa berbuat apa-apa…

“Minggir ya pir!” kata guru tersebut di depan SMP N 23.

“Dua yah” ucapnya ringan sambil membayar ongkos. Apa? Dua? aku tak salah dengar? Sudah dikasih duit, dibayarin pula? Ahhh,senangnya saat mengetahui masih ada orang orang yang tulus di dunia ini!

“Dek, nanti turun aja yah, nggak usah bayar lagi” ucap guru tersebut pada wanita itu. Lagi, wanita itu hanya tersenyum.

Angkot sudah benar-benar sepi sekarang. Melaju di depan Gelael Enggal dengan hanya diisi oleh tiga orang. Aku, wanita itu, dan pak sopir yang menyebalkan. Perasaan ku sudah tenang sekarang.meskipun entah kenapa aku masih sedikit kesal dengan pak sopir ini. Sekali lagi kulirik jam tangan. Jam tujuh tepat. Ahh, masih sempat. Hanya perlu sedikit berlari di Poltabes nanti . Alhamdulillah…

Namun saat aku kembali menengok kearah wanita itu aku amat terkejut. APA ITU?? HAH?? Ia sedang tersenyum sambil mengeluaran lembaran kertas dari buju dalamnya. Lembaran kertas yang kukenali sebagai uang! UANG! Banyak sekali jumlahnya! Memang hanya berupa uang ribuan, tapi mungkin bisa sampai lima puluh ribu. Astaghfirullah… ini pasti salah, salah….

Aku hanya tertegun tak mampu berkata apa-apa. Aku tertipu? Ah, bodohnya!

“Minggir ya” ucapnya ringan di Bundaran Lampu Merah

“Dasar penipu!” jawab pak sopir. Ia hanya menanggapinya enteng dan melenggang pergi sedangkan aku masih tak percaya dengan penglihatanku.

“Itulah dek, kenapa tadi saya usir dia! Kelakuannya itu lho, nggak berubah! Kok nggak malu yah?” katanya kepadaku.Aku semakin tercekat. Astaghfirullah… jadi selama ini aku sudah berprasangka buruk kepada orang ini…

Aku sudah tak mampu menanggapi kata-kata Pak sopir tadi.hanya bisa terdiam, berfikir. Mengumpulkan semua ingatan yang terasa seperti puzzle. Bahkan kurasa aku takkan sanggup untuk meminta maaf kepadanya atas prasangkaku tadi.

“Minggir ya” tak lama mobil pun menepi di Halte Poltabes. Jam tujuh lewat empat. Aku bergegas menuju sekolah setelah sebelumnya membayar ongkosku. Tubuhku masih lemas rasanya. Terguncang oleh kejadian tadi. Satu hal yang aku pelajari, jangan terlalu percaya kepada orang tak dikenal. Allah memang sutradara paling sempurna yang telah mengatur semua ini. Biarlah ini jadi pelajaran bagiku. Bagi diriku yang penuh rasa penasaran, dan seenaknya mengambil kesimpulan. Kesimpulan yang jauh melenceng dari kenyataan. Sungguh saat ini aku merasa benar benar bodoh karena wanita tadi telah sukses membodohiku. Membuatku sempat berpihak kepadanya. Wanita itu, ternyata ia penipu ulung, lebih buruk dari orang gila yang semula kupikirkan! Kutendang batu kerikil untuk meluapkan amarahku.

Wanita Berambut Merah 
oleh 
Tia Nurainina Heradila (XI RSBI IPA 1)

Tidak ada komentar:

http://fkar-bl.blogspot.com/