Jumat, 22 April 2011

#Cerpen "Siapa yang Salah"


Siapa yang Salah?
14.00 WIB
Matanya lincah menelusuri setiap kata yang tertera pada layar laptop dengan serius.
Rawat kaca spion anda dengan tidak menaruh sesuatu di atasnya. Hal itu dilakukan untuk menjaga keawetan poros kaca spion agar tidak cepat longgar.
 “Hm, oke, oke.”
Jangan lupa untuk selalu memeriksa rantai motor anda secara berkala. Jika rantai motor berbunyi aneh atau janggal selama anda mengendarai motor,itu pertanda bahwa rantai motor sudah longgar dan perlu disetel lagi. Anda bisa menyetel rantai motor anda sendiri atau membawanya ke bengkel dengan biaya paling mahal Rp. 5.000,-, sudah dapat bonus oli untuk melumasi rantai. Jika …‘
 “Ya ampun, panjang banget ni artikel.”
Itulah komentar Dini selama membaca artikel ‘Tips Merawat Motor Anda’ pada suatu website di internet. Siswi SMA terfavorit di Bandar Lampung ini bertubuh kurus dengan kulit hitamnya, cerewet, penggerutu, namun selalu menutup auratnya dengan rapi.
Dini duduk di kelas XI Ipa 3 dengan teman sebangku yang tak lain adalah sahabatnya sejak TK, Gina, yang memiliki karakter berlawanan dengan Dini. Gina bertubuh tinggi besar, anggun dengan hijabnya, pendiam dan sabar. 

“Eengh!” desah Dini ketika meregangkan badannya yang kaku karena selama 2 jam penuh duduk diam menelusuri dunia tanpa batas di depannya. “Booooosen, huah,”  keluh Dini mengantuk.
Seharusnya seluruh murid sudah pulang pada jam 12 siang tadi karena para guru mengadakan rapat mengenai MID Semester mendatang. Namun banyak diantaranya yang belum pulang karena terlena dengan fasilitas sekolah selayaknya rumah sendiri. AC, komputer dan tentu saja, Wi-Fi.
“Lo browsing apaan? ‘Tips Merawat Motor Anda’, cie, yang punya motor baru mah beda ya…?” Gina menyela. “Eh, lo gak pulang? Nebeng ya nanti?” tanya Gina sembari membereskan meja, bersiap-siap untuk pulang.
“Biasa aja kali. Baru motor, belum mobil, Gin. Nebeng? Boleh. Tapi gue mau ke Plaza dulu. Ada yang mau dibeli, titipan ibu gue. Mau ikut lo?” balas Dini, tetap menatap layar laptopnya.
“Boleh aja, bawa helm 2 kan? Tapi kalau kena tilang gua gak tanggung ya,”
“Iya, iya. Yuk buruan, udah jam 2 lewat sekarang. Emang gak kerasa kalau udah ngenet itu,” ujar Dini sembari membereskan buku dan laptopnya, bersiap-siap.
“Ya iya lah, udah setan semua isinya,” timpal Gina.
***
14.25 WIB
Dalam waktu 5 menit saja mereka sudah sampai di Plaza yang terletak di Jl. Kartini, tidak jauh dari Jl. Gotong Royong, lokasi sekolah mereka berada. Karena pada jam pulang sekolah seperti ini Jl. Kartini selalu ramai dengan kendaraan umum dan pribadi, maka beberapa polantas ditugaskan untuk mengatasi kemacetan. Dini yang tidak memiliki SIM sedang beruntung hari ini, karena polisi tidak terlihat berjaga di sekitar Plaza.
Ternyata pelataran parkir lumayan penuh dan padat. Bukan hal yang mudah bagi Dini yang masih ‘baru’ membawa motor untuk parkir dengan area terbatas.
“Gin, lo turun duluan. Gue cari tempat parkir yang agak lega biar gampang parkirnya. Tumben penuh gini parkiran.” pinta Dini.
“Iya, Jangan lama-lama ya, Gina mengangguk dan menunggu Dini di pintu masuk parkir motor.
Setelah parkir, Dini dan Gina bersama-sama memasuki gedung Plaza. Satpam terlihat acuh melihat mereka yang masih mengenakan seragam.
14.30 WIB
Suasana Plaza ramai dan riuh. Mungkin karena hari sabtu sekaligus akhir bulan. Terlihat ibu-ibu yang repot dengan kantong-kantong belanjanya keluar dari Supermarket.
“Wah, rame gini. Harus ngantri lagi cuma nitipin tas doang,” keluh Dini.
“Emang lo mau ke Supermarketnya? Ngantri cuma sebentar kok. Gak bakal lama,” ucap Gina sambil berjalan mendahului Dini menuju penitipan barang.
“Kok lo ninggalin gue? Yang mau belanja siapa sih?” balas Dini mengejar Gina.
“Nah, kalau gak gitu lo ngeluh, ngeluh, ngeluh, mulu kerjaannya. Baru ngantri nitipin tas, belum ngantri sembako,”
“Haha, lucu.” balas Dini cemberut.
Mereka yang sedaritadi sudah menyodorkan tas untuk dititipkan masih belum juga dilayani oleh petugas penitipan. Petugasnya lebih memprioritaskan ibu-ibu yang benar-benar akan belanja daripada pelajar yang notabenenya hanya sekedar cuci mata saja.
“Din, lo sholat gak?” tanya Gina memecah keheningan di tengah keramaian .
“Sholat lah. Emang lo enggak?” Dini balik bertanya.
“Gua lagi ‘itu’. Lo udah sholat belum? Udah jam setengah tiga sekarang,” tanya Gina lagi.
“Ye! Bilang daritadi dong! Pantes di sekolah lo gak ngajakin gue sholat. Makanya gue ngenet,” jawab Dini.
“Lo juga gak tanya gua. Lagian, sholat kok harus diajak orang dulu sih. Mumpung masih kebagian waktu zuhur ni, buru sholat,”
“Nanti lah, tanggung. Beli titipan ibu gue mah cuma bentar. Gue bisa sholat di rumah. Masih kebagian waktu gini. Lagian, udah terlanjur ngantri kan kita?
“Duluin sholat bentar, kan cuma 5 menit sih sholat itu? Kalau ada apa-apa gimana? Sholat dulu biar tenang. Kalau ngantri bisa kapan aja.”
“Iya, oke, oke lo menang. Tapi gue gak tau mushola di Plaza lantai berapa.”
“Di dalam bioskopnya, Din. Gua anter lo deh. Ternyata lo gak se-gaul yang gua kira ya?”
Emang gue pernah bilang kalau gue gaul gitu? Tapi yang cepet jalannya. Ibu gue nungguin di rumah.”
14.40 WIB
Dengan menaiki 4 escalator berturut-turut, mereka sampai di lantai 4. Gina memimpin jalan menuju mushola. Dini termanggut mengikuti karena untuk kali pertama sholat di Plaza. Setelah memasuki bioskop, mereka beberapa kali belok mengikuti lorong yang menunjukkan film-film yang sedang atau akan tayang bulan ini di sepanjang dindingnya.
Lalu Gina berhenti di depan pintu yang sengaja dibiarkan terbuka. Dini heran Gina berhenti, spontan Dini melihat ke arah pintu terbuka tersebut dan memeriksa sekeliling.
“Gak ada tulisan ‘MUSHOLA’. Kenapa lo berhenti?” tanya Dini bingung.
“Ini musholanya, Dini ku sayang. Masuk deh kalau gak percaya.” jawab Gina santai.
Dini menurut dan masuk ke dalam mushola. Tepat di depan Dini orang-orang mengantri untuk wudhu dengan 4 keran air. Namun anehnya, area wudhu pria dan wanita tak ada pembatas. Dini tidak terbiasa dengan ini.
“Kenapa? Cepetan wudhu, udah jam 3 kurang 15 sekarang. Gua tunggu di luar aja ya.” ucap Gina santai ketika melihat ekspresi aneh Dini.
“Wudhunya gini?” tanya Dini ragu-ragu.
“Kalau enggak wudhu di WC aja, tertutup. Jangan bilang lo juga gak tau WC di mana?” tanya Gina curiga.
“He-eh,” jawab Dini sambil nyegir ke arah Gina.
“Cape deh. Jadi tour guide gini gua?”
Sekali lagi, Gina memimpin ekspedisi menuju WC yang berada tidak jauh dari mushola. Setelah masuk, Dini langsung melepas kaos kakinya, menyumpalkannya ke dalam sepatu, dan melangkah setengah jinjit menginjak sepatunya yang tersumpal. Dini masuk ke dalam bilik WC kedua dari tiga bilik WC di sudut. Sedangkan Gina menunggu dengan setia di pojok WC antara pintu dan wastafel. Ditemani seorang petugas WC perempuan.
Wih, pake shower WC-nya, bersih lagi, enak banget buat panggilan alam di tempat umum kayak gini.Batin Dini. Lalu Dini wudhu menggunakan shower tersebut dengan tidak menghadap toilet. Ketika sedang membasuh kedua tangannya, tiba-tiba WC Dini diketuk 3 kali disusul dengan peringatan dari pengguna WC di sebelah Dini.
“Heh! Kalo wudhu jangan di WC dong!” teriak mbak pengguna WC tersebut.
Dini diam dan tidak menggubris peringatan mbak tak dikenal itu. Ia tetap melanjutkan wudhunya sambil berucap dalam hati. Mungkin cipratan air wudhu gue kena mbak itu, tapi airnya ngalir ke pojok bilik. Harusnya gak apa-apa.
Merasa tidak ditanggapi peringatannya, mbak tak dikenal itu berkoar lagi dengan ketus, “Woy! Jadi basah tau gak lantainya? Wudhu kok di WC sih? Gak bisa di mushola ya?”
Kesal wudhunya terganggu, Dini membalas, “Oh, gitu?” kalau lantainya basah, apa masalahnya? Kan ada petugas WC. Kok dia sewot? Wudhu gue batal lagi?! Batin Dini. Terpaksa Dini mengulangi prosesi wudhunya karena ia meladeni peringatan mbak itu. Namun kali ini Dini wudhu dengan menghadap toilet, menyingkirkan rasa jijik untuk sementara, agar air wudhunya jatuh ke dalam toilet, tidak membasahi lantai.
 ”Eh, anak ini! Malah dilanjutin lagi wudhunya? Punya kuping gak sih?! katanya pelajar, tau aturan aja enggak.” Mbak itu berceloteh kasar. Sesudah melihat lantai toiletnya tak bertambah basah oleh air wudhu Dini, akhirnya Mbak cerewet itu keluar dari WC. Lalu terdengar ada mbak-mbak lain yang bertanya kepadanya kenapa marah-marah.
“Biasa, anak kecil, wudhu kok di WC. Ya gak?” jawabnya.
Setelah Mbak itu keluar, masih di biliknya, sekilas Dini melihat lantai yang basah dikeringkan oleh petugas WC. Segera Dini menyelesaikan wudhunya dan keluar dari bilik WC. Dengan langkah terjinjit dan memasang muka angkuh yang kesal, Dini berkata,”yang gak ngerti agama gitu lah,”
Petugas WC baru saja selesai mengeringkan lantai hanya terdiam melihat Dini dan Gina memasang muka datar saja.
“Udah, gak usah dipikirin. Sholat dulu yang penting.” hibur Gina.
Di mushola, Dini memakai mukena yang disediakan. Ada beberapa SPG yang sibuk merias wajah mereka lagi, namun kegiatan mereka sedikit mengganggu dan memakan tempat mushola bagian perempuan yang terbatas. Walau risih, Dini memilih tempat kosong dekat batas wilayah sholat perempuan dan laki-laki yang hanya dibatasi oleh sehelai kain hitam yang tipis. Dini sholat dengan perasaan campur aduk tak keruan.
Selesai sholat Dini melangkah terburu menuju Supermarket. Gina berusaha mengimbangi. Selama menuruni 4 escalator menuju lantai satu Dini tetap diam. Gina tidak heran dengan sikapnya seperti itu. Bersahabat sejak TK, manis asam pahit sikap Dini sudah tak aneh lagi bagi Gina.
15.00 WIB
Tidak terlalu ramai saat Dini dan Gina mengantri untuk menitipkan tas sekolah mereka yang berat. Dini tetap diam saat mengambil keranjang belanja merah yang kecil, Gina bingung mau berkata apa atas kejadian tadi. Sekarang Dini yang memimpin ekspedisi untuk membeli titipan ibunya, ia berjalan ke arah rak Mentega dan sejenisnya.
“Asli, tadi itu nyebelin banget loh mbak-mbaknya! Kenapa dia sewot sih? Emang salah gitu kalau gue wudhu di WC?” Dini mengeluarkan amarah yang sedaritadi dipendamnya. Sepertinya ia mencari lokasi yang sepi untuk mulai bercerita.
“Udah, sabar aja. Ambil hikmahnya. Makanya kalo sholat itu jangan ditunda-tunda,” hibur Gina sekaligus menasihati Dini.
“Ya gak gitu juga lah mbak itu marah-marahnya? Kan ada petugasnya yang ngepel lantainya kalo basah?” ucap Dini ketus sambil mencari titipan ibunya. Lalu ia melanjutkan,”lo tau gak sih rasanya wudhu ngadep toilet? Walau bersih, tetep aja jijik!”
“Eh, kayaknya lo salah pengertian deh,Din. Yang marah-marah itu petugas WC-nya. Kan gua di dalem WC juga nungguian lo wudhu.” jelas Gina.
Dini tercengang, kaget karena salah menuduh orang,”serius Gin? Kalo gitu kenapa dia gak marahin gue aja pas gue udah keluar dari bilik? Dia cuma ngeliatin gue lewat gitu aja, gak ngomong apa-apa,” tanya Dini sambil mencari titipan ibunya yang masih belum ketemu.
“Karena lo ngomongnya ketus banget. Ya dia diem aja lah. Udah, lupain aja. Yang penting lo udah sholat,” Gina berusaha menghibur.”Eh, lo cari apaan sih? Daritadi gak ketemu juga?” ujar Gina mengalihkan pembicaraan.
“Butter. Yang mereknya butterfly, kaleng bunder merah ada lambang kupu-kupu.” jawab Dini singkat.
”Butter? Apa itu?”
“Sejenis mentega atau margarine. Tapi dibuat dari susu.”
“Oh, emang kalau mentega sama margarine bahan dasarnya apa?”
“Mentega lemak hewani, margarine lemak nabati. Jangan bilang lo gak tau arti lemak hewani dan nabati?” tanya Dini, masih tetap ketus.
“Tau lah, lemak hewan ma tumbuhan kan? Kalo gak pinter, gua gak bisa masuk sekolah favorit lah,” ujar Gina.
“Ya, ya, gue percaya. Ah, ini dia, ketemu.” timpal Dini sembari memasukkan kaleng Butter ke dalam keranjang belanja dan langsung menuju kasir.


15.30 WIB
Setelah membayar butter di kasir, tidak lupa mengambil tas di penitipan barang, mereka berjalan santai menuju pelataran parkir. Sepertinya Dini tak terlalu menghiraukan kejadian WC yang dialaminya. Gina adalah pengalih perhatian professional.
“Lo parkir di mana sih? Jauh amat dari pintu parkir?” tanya Gina
“Kan tadi penuh parkiran, jadi gue parkir di dalem. Itu motor gu…” Dini langsung berlari ke arah motornya sebelum menyelesaikan perkataannya.
“Ada apa Din?” tanya Gina sambil mengejar Dini yang sudah sampai di tempat motornya parkir.
Dini terisak kesal, seperti tangis tertahan,”Helm baru gue dituker!”
“Dituker? Emang gak lo kunci helmnya?” tanya Gina tetap tenang.
“Helm gue kan 2, yang putih gue kunci di jok. Yang merah gue gantung aja di stang. Kalo di kaca spion nanti longgar porosnya.” ”Liat! Dituker sama yang item, jelek, keropos, gak ada kaca pelindungnya lagi!”
Gina diam, berusaha menghibur dengan berkata,”udah, yang sabar aja Din. Ini pelajaran buat lo biar lebih waspada lagi. Bukan rejeki kali.”
Masih kesal dengan kejadian WC tadi, ditambah helm barunya hilang, Dini hilang kesabaran.“Semua gara-gara lo! Coba kalo kita langsung beli butter terus pulang. Gak bakal ada kejadian WC, dan helm gue masih tergantung utuh, Gin!”
“Tapi gua cuma ingetin lo doang untuk sholat. Kalau langsung pulang, belum tentu lo masih kebagian waktu,Din. Yang penting lo uda…”
“Jangan bilang ‘yang penting lo udah sholat,din’. Udah! Gak usah dibahas lagi. Capek gue!” ujar Dini, sedikit membentak Gina. Gina kembali diam, tidak membela diri, tidak ingin memperkeruh air yang sudah keruh.
Akhirnya mereka pulang, dari Jl. Kartini yang kembali ramai, lewat Pasar Bambu Kuning yang macet, setelah itu menuju Pasar Bawah yang matot, alias macet total karena banyak angkutan umum segala jurusan ngetem menunggu penumpang. Dini menurunkan Gina di sana, agar lebih mudah untuk naik angkutan umum jurusan sukarame.
“Maaf, Din. Gua cuma berusaha untuk ingetin lo sholat. Gua gak tau kejadiannya bakal kacau gini. Setidaknya helm lo dituker, bukan dimaling.” Gina meminta maaf sekaligus menghibur Dini. Sepertinya kesabaran Gina masih tersedia banyak, ia sama sekali tidak marah.
“Sama aja. Udah, Titi Dj (ati-ati di jalan). Gue duluan.” ujar Dini tanpa memberi jawaban. 
By: Sinta Wulandari Karyana (XI A 3)

1 komentar:

Rohis Smanda mengatakan...

selamat membaca karya baru anggota Ronda yaa..

http://fkar-bl.blogspot.com/